Secuil Cerita Perjalanan ke Pontianak

Processed with VSCO with c1 preset
Choi Pan/Cha Kue versi Jumbo yang saya makan di D’Bamboo. Best of the best!

Salah satu bagian yang tidak lepas dari pekerjaan saya adalah survei. Tiba-tiba saya dikabari bahwa saya harus mendatangi tiga kota yang akan ditinjau yaitu Cirebon, Pontianak, dan Jambi. Saat akan ke Pontianak, rasanya campur aduk (lebih ke senang tentunya). Pasalnya, saya baru saja ingin masakan khas Pontianak yaitu Cha Kue/Choi Pan. Iya, kue yang tambah booming karena film Aruna dan Lidahnya tersebut berhasil membuat saya berdoa sepanjang waktu agar dapat makan Choi Pang langsung di Pontianak. Oh iya, berbicara soal Choi Pan, makanan ini sebenarnya asli dari Singkawang dan menjadi makanan khas yang dimakan oleh orang-orang Tiongkok [1]. Tidak heran saat berkunjung ke restoran yang menjual Choi Pan di kota ini, akan banyak masyarakat Tiongkok yang memesan dalam jumlah berloyang-loyang!

 

Kota Bisnis Sejati

Processed with VSCO with c1 preset

Kedatangan saya ke kota ini tentu bukan jalan-jalan, itu hanya sambilan saja. Saya datang dalam rangka dinas untuk mengetahui pangsa pasar atau dalam dunia saya sering dikatakan sebagai survei market. Akhirnya perjalanan survei saya diawali dengan mengidentifikasi kegiatan apa saja yang dilakukan masyarakat pontianak di hari biasa dan saat pekan. Selain masyarakat, saya juga mengidentifikasi perilaku dari wisatawan yang datang ke Pontianak. Kebetulan kami datang saat perayaan Cap Go Meh, sungguh sebuah kejutan karena kami tidak merencanakannya. Jadilah banyak wisatawan yang sekedar transit di Pontianak untuk meneruskan perjalanan ke Kota Singkawang atau sekedar merayakan Cap Go Meh di Jalan Gajahmada, ruas jalan perdagangan yang terkenal di kota ini.

Processed with VSCO with c1 preset
Suasana Cap Go Meh di Jalan Gajahmada

Processed with VSCO with c1 preset

Karena akhir-akhir ini saya selalu merasa semua kota pada akhirnya di arahkan menuju kota wisata, saya mendapati hal yang berbeda di Pontianak. Saat survey ke berbagai dinas untuk wawancara, mereka dengan tegas berkata, “Kota ini tentu kota bisnis. Kita tidak punya sesuatu yang bisa ditawarkan sebagai objek wisata. Kebanyakan orang-orang datang untuk transit menuju Singkawang. Karena di Singkawang tidak ada bandara, mau tidak mau mereka harus turun di Bandara Supadio kan?”. Saat kami bertanya kira-kira ada potensi ke arah wisata, sebagian dari perwakilan dinas hanya berkata, “Tidak perlu, kita upgrade kota ini untuk kepentingan masyarakat saja. Memperbaiki kualitas ruang di sisi sungai untuk kehidupan mereka yang lebih baik. Tidak perlu dipaksa menjadi kota wisata cukup dengan kota bisnis dan transit saja.”

 

Akhir Pekan yang Sepi?

Berbeda dengan kebanyakan kota-kota besar di Indonesia, pusat perbelanjaan dan perdagangan Pontianak di akhir pekan cenderung sepi. Bahkan jumlah kendaraan bermotor menuju kota dari kabupaten pun relatif sepi bila dibandingkan dengan hari biasa. Hal ini terlihat di ruas jalan utama Ahmad Yani, yang menjadi jalan penyambung utama antara Kabupaten Kubu Raya dengan Kota Pontianak. Ternyata, masyarakat Kabupaten Kubu kebanyakan bekerja di Kota Pontianak dan saat akhir pekan, mereka lebih suka menghabiskan waktu di rumah untuk berakhir pekan bersama keluarga. Ini jelas berbeda bila dibandingkan dengan Jakarta atau Bandung. Bisa dengan mudah kita mengatakan ruas-ruas jalan menuju pusat perbelanjaan di Jakarta atau Bandung akan selalu ramai dan padat. Nah ternyata, yang ramai di Pontianak bukanlah pusat perbelanjaan melainkan tempat-tempat publik apalagi Alun-Alun Taman Kapuas yang disulap menjadi penuh tempat duduk dan bermain. Dengan modal Rp 15.000, kita bisa menaiki perahu dan mengelilingi Sungai Kapuas di sore hari. Kalau mau wisata gratisan, bisa saja tinggal duduk-duduk di pinggir taman lengkap dengan pemandangan Sungai Kapuas yang sudah pasti tidak bisa kita dapatkan saat di Pulau Jawa. Hal lucu lain yang saya temukan adalah konsep PKL (Pedagang Kaki Lima) yang ada di bantaran sungai. Mereka tidak berjualan di tepi jalan lagi tapi warung mereka benar-benar mengapung di atas sungai. Ombak yang besar tidak berpengaruh, mereka tetap asyik jualan membakar jagung dan melayani pembeli dari warung unik mereka.

Processed with VSCO with c1 preset
Pedagang Kaki Lima yang aku nobatkan menjadi PKL super tahan ombak

 

The Real Shophouses dan Culture ‘Ngopi’

Bicara tentang Arsitektur, terdapat hal yang mencuri perhatian saya selama di Pontianak. Ya, tentang ruko-ruko yang begitu hidup terutama di kawasan perdagangan Pontianak. Pada ruas Jalan Gajahmada/Jalan Tanjung Pura, kita akan disambut oleh ruko-ruko berlanggam lama. Menariknya, lantai dua hingga tiga pada bangunan ruko ini benar-benar dijadikan hunian oleh penghuninya. Tidak sekedar menjadi toko yang akan tutup di malam hari dan buka saat pagi. Tidak heran saat pagi kita akan mendapati penghuninya sedang ‘nongkrong’, jemur baju, kipas-kipas, dan melakukan ragam kegiatan yang bisa dilakukan di balkon. Beruntungnya lagi, saat perayaan Cap Go Meh lengkap dengan naga-naga yang berjalan di sepanjang jalan tersebut, masyarakat yang berpenghuni di ruko bisa menyaksikan dari lantai dua rumah mereka. Sungguh pemandangan yang sangat eksklusif.

Processed with VSCO with c1 preset
Lantai dua dari ruko yang masih berfungsi sebagai balkon

Selain arsitektur ruko yang masih berfungsi dengan baik, kedai kopi kekinian di Kota Pontianak tidaklah ramai. Tentu, kedai kopi legendaris seperti Asiang dan Kopi Aming lebih mencuri perhatian bagi para pecinta kopi dan wisatawan seperti kami. Cukup dengan satu gelas kopi dan colokan, penuh sudah tempat ngopi tersebut. Berbeda dengan Kopi Asiang yang menjaga autentisitasnya dengan tidak membuka cabang atau menjual produknya di tempat lain, Kopi Aming justru merambah pasar sekelas Indomaret/Alfamart dan membuka gerainya di Mall Transmart, Kubu Raya. Saat pulang melalui bandara pun, kita dapat membawa pulang Kopi Aming yang segar dengan menggunakan gula aren. Ya, kopi-kopi ini tentu buka sejak subuh dan ramainya pun sejak warung ini dibuka. Ajaib sekali bukan? Budaya ngopi ini tidak hanya ada di kalangan remaja, tapi justru kalangan tua, bapak atau pun ibu, semua suka ngopi di Pontianak. Tak heran kota ini dipanggil Kota Seribu Kedai Kopi (selain sebutan Kota Seribu Sungai yang sama terkenalnya).

Kopi susu gula aren di Aming Coffee

Masyarakat Sungai

Akhir kata, saya sangat berbahagia dapat mengabadikan banyak hal tentang Kota Pontianak. Kota yang masih menggunakan sungai sebagai jalur transportasinya untuk menyebrang. Tidak hanya manusia, tapi juga terdapat penyebrangan untuk mobil-mobil kecil dan motor yang bisa kita lihat prosesnya saat kita berkunjung ke Alun-Alun Kapuas. Seperti sejarahnya, masyarakat Pontianak tidak bisa lepas dari sungai karena pasalnya kota ini pun berkembang dari tepian sungai hingga mekar keluar. Bila melihat dari satelit, pada sisi-sisi terluat sungai, kita akan mendapati jalan-jalan grid persegi panjang. Hal ini dikarenakan permukiman dan jalan lingkungan mulai tumbuh pada area persawahan di sisi selatan Kota Pontianak. Sebab sungai inilah, kota ini dapat berkembang. Pasalnya, sungai merupakan sumber kehidupan di Pulau Kalimantan dan menjadi sarana transportasi antar daerah [2]. Bahkan dari Ketapang hingga Pontianak, selain jalur darat, kita dapat mencapainya dengan jalur sungai! Menarik bukan?

End.

 

Referensi

[1] https://www.idntimes.com/food/dining-guide/naufal-dzulhijar/choi-pan-makanan-khas-singkawang-yang-wajib-kalian-coba-exp-c1c2/full

[2] Kusnoto, Yuver dan Yulita Dewi P. (2018). Permukiman Awal Sungai Kapuas. SOCI: Jurnal Ilmu-Ilmu Sosial Vol. 15, No. 1 Tahun 2018 hal. 71-78

Advertisement

Opini: Revitalisasi Bangunan/Kawasan Cagar Budaya. Perlukah?

Semarang.
Bisa dibilang kota ini adalah salah satu kota yang dalam masa awal hidup saya jarang sekali saya jajaki, singgahi, dan hanya sekedar lewati. Pertemuan saya dengan Semarang diawali dengan tugas studio arsitektur di tahun 2012. Pertemuan ini lantas menghasilkan kesepakatan dalam diri saya bahwa, “saya harus kesini lagi suatu hari nanti!”. Bila ada yang bertanya, “kenapa sih Icha suka banget bolak-balik Semarang?” Jawaban pertama yang keluar dari mulutku adalah, “Karena jalannya besar-besar, lurus, membentuk satu axis (garis lurus)”. Itulah Semarang dalam ingatanku. Kebetulan kemarin dapat kesempatan sebagai Asisten Akademik dari jurusan yang akan mendampingi kegiatan joint studio ITB-TU Delft, melakukan survei pendahuluan untuk mencari kira-kira site mana yang nantinya bisa digunakan untuk workshop dan real exersice dari mahasiswa yang nantinya akan tergabung dalam satu kelompok diantaranya terdiri dari mahasiswa arsitektur, rancang kota, dan lansekap (semua program S2). Di waktu ini, saya mendapatkan banyak pelajaran gratis tentang sejarah dari tim BPK2L. Ya, BPK2L adalah Badan Pengelola Kawasan Kota Lama yang melakukan kegiatan revitalisasi kawasan Kota Lama. Kota Lama Semarang sendiri awalnya memiliki beberapa problem seperti hilang fungsi aktivitas serta tata guna lahan yang kurang beragam yang menyebabkan kawasan ini menjadi perlahan mati. Seperti kata Alm. Pak Galih Widjil Pangarsa bahwa nyawa dari sebuah bangunan adalah manusia di dalamnya. Bisa dibayangkan karena fungsi yang mati, akhirnya bangunan lapuk dan hancur dengan sendirinya. Padahal aset waktu atau bisa juga disebut intangible heritage pada kawasan ini tidak ternilai harganya.

 
Oh ya, jujur saja saya adalah anak baru masuk (tidak sengaja kecemplung) dalam dunia konservasi lingkungan perkotaan. Tulisan ini pun dibuat masih berdasarkan pemahaman seorang awam yang melihat kawasan kota lama sebagai aset yang dimiliki sebuah kota bahkan negeri ini. Pernah di masa awal saya menapaki kawasan kota lama seperti Kota Tua Jakarta dan terlintas di benak saya, “memangnya perlu ya mengkonservasi ini semua? apakah masih relevan dengan masa kini? apakah memang benar bangunan-bangunan dan kawasan ini cocok betul untuk kota dan kegiatan perkotaan, ekonomi dan sosial, yang ada di sini? Sampai suatu waktu saya sampai di titik, “Kenapa sih ini semua harus dipertahankan?”.

 
Tidak lama dari berbagai macam pikiran tanpa landasan tersebut, saya mendapati tugas untuk membuat historical development dari Kota Lama Semarang. Untungnya, sedari belia, saya merupakan tipikal yang senang membaca sejarah. Jadi untuk mempelajari sejarah dari Kota Lama bukan jadi pekerjaan yang membosankan. Malah menarik untuk saya! Disinilah saya belajar bahwa, hidup itu memang pilihan. Pilihan untuk berdiri di sisi yang mana. Saya melihat apa yang mau dilindungi dari Kawasan Kota Lama ternyata tidak hanya bangunannya tapi juga fungsi aktivitas yang terjadi di dalamnya. Peran komunitas dalam menghidupkan kawasan ini pun sangat besar. Kalau saya pribadi ditanya, kenapa ini semua harus direvitalisasi? Karena untuk saya, dengan menapaki Kawasan Kota Lama saya bisa menapaki “dunia yang lain” di negeri sendiri. Saya merasakan ambience (suasana) yang tidak biasa, ikut menerka-nerka apakah dulu ini kantor, apa yang terjadi di alun-alun ini, dulu jalan ini akses utama atau bukan? Dan napak tilas seperti itu ternyata sangat seru! Nah, nilai-nilai ini yang mungkin tidak bisa didapati di kawasan terbilang baru tanpa nilai history. Ya, kawasan cagar budaya itu memang perlu dilindungi karena nilai history nya yang tidak terbayarkan dengan apapun. Seperti jejak sejarah, itulah kawasan cagar budaya.

 
Untuk sisi aktivitas dalam bangunan, sebenarnya saya tipikal orang yang kurang sepakat bila kawasan cagar budaya hanya menjadi cagar saja, dipugar, tidak difungsikan. Menurut saya, hal itu tidak menghasilkan dampak apapun pada lingkungan karena keberadaan bangunan tersebut seharusnya bisa memberi manfaat minimal bagi lingkungan di sekitarnya. Maka, saya akan berada di sisi yang sepakat ketika sebuah bangunan cagar budaya akan dibuka dan difungsikan sebagaimana mestinya. Bila khawatir akan rusak, maka dapat dilakukan kajian awal tentang aktivitas apa yang paling cocok untuk bangunan/kawasan cagar budaya tersebut yang tetap aman namun bermanfaat. Jadi sekarang bila ada yang bertanya keberpihakan saya terhadap cagar budaya, tentu saya pro dengan revitalisasi. Asalkan revitalisasi itu dilakukan sesuai dengan aturan dan dari segi visual tidak menghilangkan ornamen-ornamen penting dalam bangunan/kawasan seperti tiba-tiba mencat kawasan cagar budaya dengan warna-warni atau menambahkan terlalu banyak lampu jalan hingga membuat cityscape dari kawasan itu malah jadi hilang sense nya.

Saya sisipkan beberapa foto Kota Lama Semarang di pagi hari. Silahkan dinikmati cantiknya!

Bandung, 9 Agustus 2019
Marisa Sugangga

 

 

 

nb: sangat terbuka untuk diskusi apapun, mau tambah ilmu untuk saya juga boleh. Kalau ada artikel menarik, jurnal, buku yang menurut teman-teman perlu aku baca untuk mengembangkan pola pikir saya tentang revitalisasi bangunan/kawasan cagar budaya, saya sangat terbuka sekali!

Strolling Around City (Singapore)

DSCF1720

Kalau diajak ke Singapura, selalu nggak pernah nolak. Beberapa teman suka nanya, kenapa sih suka banget bolak-balik Singapura? Jawabanku pasti “selalu ada yang baru di kota ini.” Selain karena selalu dapat tiket yang under normal price -seperti PP 300-400ribu-, aku juga bukan orang yang picky soal “kabur” sejenak dari kenyataan. Selama ada kesempatannya, suka aku ambil aja hehehe. Tahun ini kesempatan ke Singapura aku pergunakan untuk strolling around the city, seperti melihat free show atau menyusuri kawasan yang baru direvitalisasi (dihidupkan kembali).

DSCF1801

Hal yang paling menarik untuk liburan kali ini adalah penginapannya. Aku pergi berenam dengan keluargaku (belum full team loh itu, haha) dan memutuskan untuk tidur di hostel dengan bunk bed. Tujuannya agar satu kamar bisa semua masuk dan karena kita akan sangat jarang berada di penginapan, jadi kita memilih penginapan berdasarkan lokasi. Nah, aku punya satu rekomendasi penginapan yang bagus sekali baik secara lokasi maupun service. Adamson Inn ini berada di sekitar Kampong Glam (3 Jln Pinang, Singapore) dan ini secara lokasi sangat-amat-recommended-sekali! Untuk yang muslim, tidak perlu pusing mencari makanan halal karena ini adalah daerah yang nyaris semuanya makanan halal. Most food di sini adalah makanan arab/india seperti martabak, nasi briyani, chicken curry, dan favorit aku adalah teh tarik! Tidak ada penginapan yang super murah di Singapura, tapi kalau mau cari lokasi yang menyenangkan dan mencoba hotel ala-ala backpacker, Adamson Inn adalah tempat yang tepat. Solat pun bisa menjadi sangat menyenangkan dan khusyu karena hostel ini bertetangga dengan Sultan Mosque (salah satu destinasi wisata di Singapura). Jadi selama di sini, teman-teman akan tetap bisa mendengarkan adzan.

DSCF1664
Yah, ketutupan truk. Maaf ya
DSCF1666
Suasana di sekitar penginapan, ada halte bis di belakang sini

Oh iya, untuk hari ini perjalanan kali ini, kita tidak lagi menggunakan EZ-Link sebagai kartu transportasi di Singapura. Kita menggunakan Singapore Tourist Pass yang bisa dibeli di bandara juga saat pertama kali naik MRT. Harganya 20 SGD dan itu ada depositnya, bisa diambil waktu nanti pulang tuker tiket (seperti kita tuker tiket untuk tiket harian di commuter line). Waktu itu aku belinya yang standar bukan yang plus jadi kartu ini tidak include transportasi seperti ke Sentosa dan beberapa bus pun tidak dilayani oleh kartu ini (biasanya bus yang ada tulisannya “express”, bisa cek di halte atau internet). Jadi pas pilih rute di halte bus, sedikit lebih cermat saja agar tidak salah naik bis. Overall kartu ini worth it sekali dan selama perjalanan kali ini, aku banyak menggunakan transportasi bis karena udah free pass! Jadi selalu cari halte terdekat dari tujuan dan kadang tuker di salah satu bus stop untuk menuju line bus yang lain. Serunya adalah kita bisa benar-benar lihat kotanya seperti apa. Dulu biasanya aku selalu naik MRT, jadi kotanya tidak terlihat.

DSCF1746

DSCF1751

DSCF1745
Aku bilang sama Mama kalau ini kartu ‘sombong’, bisa tap-tap sepuasnya tanpa berpikir harus top up

Sebelum dari melakukan perjalanan kali ini, aku selalu penasaran dengan kondisi terbaru dari Haji Lane. Nah, koridor yang sudah direvitalisasi ini berada tidak jauh dari penginapan. Akhirnya sore-sore setelah sampai dan selesai check in, aku mencoba mengunjungi kawasan ini. Ramai sekali kondisinya tapi masih nyaman untuk melakukan kita melakukan aktivitas. Menariknya, setiap bangunan diberi warna yang berbeda bahkan cenderung kontras, tapi masih bisa menimbulkan kesan yang harmonis. Aku selalu berpikir bahwa mungkin sebelum dilakukan proses pengecatan, terdapat proses riset dan trial error pada satu studi/lab percobaan warna ya? Hahaha atau sepertinya seingat aku memang ada teori keharmonisan warna yang bisa didapat bila kita menggunakan teori seperti komplementer, split komplementer, dan teman-temannya itu. Serius, aku benar-benar penasaran kenapa walaupun kesannya tabrak warna tapi bisa seharmonis itu. Bisa juga dari tipologi bangunan yang serupa tapi tak sama seperti desain jendela, pintu, dan atap yang serupa hingga akhirnya membentuk kombinasi yang sangat harmoni (huhu, ngefans). Kondisi dari setiap bangunan di sini tergolong sangat baik dan terawat, sangat menyenangkan berada di sekitar Haji Lane, Kampong Glam, dan Arab Sreet ini.

DSCF1598
Sultan Mosque, salah satu vista di Muscat Street
DSCF1618
Haji Lane Street

DSCF1619

DSCF1633

DSCF1772
“Aku nanti kalau punya rumah sendiri mau dicat kayak gini!” lalu semua kabur.
DSCF1778
Kawasan Kampong Glam
DSCF1780
Pendekatan desain yang digunakan untuk kawasan yang memiliki dinding-dinding besar namun berorientasi ke jalan

Free show yang aku datangi kali ini adalah water fountain show yang diadakan oleh Marina Bay Sands dan lokasinya pun berada tepat di belakang mall ini (di area promenade). Untuk jadwal bisa cek di webnya https://id.marinabaysands.com/ dan kemarin aku datang saat pukul 20.00. Pastikan mendapatkan spot yang tepat agar dapat menikmatinya. Saran aku siap-siap saja di area sekitar LV building, hehehe atau paling depan dekat pagar pembatasnya sekalian. Free show kedua berada tidak jauh dari lokasi Spectra yaitu di Garden by The Bay yang memberikan free lighting show. Saat itu aku sedang beruntung sekali karena musik yang digunakan saat itu berasal dari lagu-lagu film Disney!!! (include Star Wars theme hehehe, gimana ga seneng?).  Jadwalnya bisa cek di web nya juga, kemarin aku datang di waktu 08.45. Nah, untuk datang ke free show seperti ini, bisa selalu cek di website nya untuk jadwal-jadwal pertunjukannya. Singapura selalu punya pertunjukan baru untuk kita nikmati secara gratis, jadi sebelum berangkat, bila mode travelling teman-teman adalah para pencari event gratisan, rajin-rajin buka website nya visit singapore ya. Segala promo dan event bisa cek di situ.

DSCF1678
View dari Helix Bridge
DSCF1694
Spectra
DSCF1719
Garden by the Bay Lighting Show

Hari terakhir yaitu hari ketiga, aku menghabiskannya dengan explore area Kampong Glam saja sebenarnya. Sempat juga sih mengunjugi kantor polisi yang di redesign yaitu The Old Hill Street Police (loh, fotonya malah lupa aku ambil). Nah bangunan ini dulunya adalah kantor polisi dan sekarang digunakan sebagai kantornya MICA (Ministry of Information, Communications and the Arts). Hal yang menarik dari bangunan berjendela banyak ini lagi-lagi permainan warna yang banyak dan selalu eyecatching (dan selalu berhasil membuat aku penasaran bagaimana itu cara harmonisasi warnanya). Selain itu, di sekitaran area hostel banyak sekali tembok-tembok kosong yang diberi mural dan menjadikan kawasan itu bukan lagi sekedar kawasan rumah atau ruko melainkan menjadi kawasan yang memiliki nilai seni. Pendekatan ini bisa juga dilakukan untuk menghidupkan ruang-ruang yang memiliki dinding besar. Hal seperti ini sudah banyak dilakukan di kota besar. Saat jalan-jalan ke Bangkok pun, dinding yang dicat tidak tanggung-tanggung, besar dan tinggi sekali (ada di postinganku sebelum ini saat di Bangkok). Kan jadi ingin riset di kota tempat tinggal, daerah mana yang bisa diintervensi untuk meningkatkan kualitas lingkungan dengan pendekatan ini, HE HE HE (otaknya masih aja riset). Oh iya, sebelum sampai ke Bandara Changi, kita makan di daerah Paya Lebar. Di sana ada area food court yang menyediakan makanan halal walaupun itu chinese food! (surga banget kaaan) dan sekalian menuju Changi, kita mencoba mampir ke area National Stadium. Ada tempat lari indoornya, menarik sekali. Jadi ingat zaman kerja di Jakarta suka lari di bagian outer ring nya GBK malam-malam, sepertinya menarik juga nih kalau GBK diberi indoor outer ring seperti ini.

DSCF1893
Semi Indoor Jogging Track (LOOOOVE)

DSCF1895

Baiklah, sekian ceritaku tentang perjalanan ke Singapura kali ini yang lagi-lagi menemukan hal baru. Makanya, walaupun selalu dibilang “ngapain sih berulang kali ke Singapura?” ya itu…. karena aku selalu bisa menemukan hal yang baru. Bagian terpentingnya sih menurutku urban planner/urban designer/arsitek bisa belajar banyak dari tata kota dan pendekatan yang digunakan Singapura untuk menghidupkan kembali bahkan memberikan sesuatu yang baru untuk kotanya. Walaupun memang harus dipilah dan dipilih karena tentu tipologi dan kondisi Singapura berbeda dengan Indonesia (apalagi masalah luas wilayah), tapi beberapa pendekatan masih relevan untuk diaplikasikan di Indonesia kok (tentunya dengan beberapa analisis kontekstual khusus kawasan di Indonesia. Menariknya lagi, di sini banyak preseden (contoh) yang bisa kita pelajari dan lihat secara langsung. Karena memang beda sekali kalau lihat di internet dengan mempelajari dan merasakan langsung.

DSCF1881
halo

 

***

Salam ceria-cinta-damai,
Marisa Sugangga (April, 2018).

Tiga Teori Normatif Terbentuknya Sebuah Kota

Latar Belakang Terbentuknya Teori

Secara harfiah, manusia akan terus mencari dan membentuk tempat yang ideal untuk terus memperbaiki kualitas hidupnya. Persepsi tentang ideal bagi setiap pola pikir individu tentu berbeda. Kebutuhan manusia pun mempengaruhi tempat tinggal seperti apa yang baik dan dapat memenuhi kebutuhan untuk melangsungkan hidupnya. Sejarah terbentuknya kota di dunia sangat berpengaruh pada tingkah laku dan norma-norma yang berlaku pada masyarakat pada masa itu. Dalam perkembangan kota, terdapat tiga teori normatif yang memiliki ciri khas di masing-masing awal pembentukannya. Terdapat tiga teori normatif yang dijabarkan pada buku “Good City Form” karya Kevin Lynch (1981).

Teori Kosmik (Cosmic Theory) muncul dengan latar belakang hubungan spiritual manusia dengan Tuhan. Masyarakat pada saat itu memiliki budaya pemujaan terhadap apa yang dianggap mereka sakral. Sebuah kota digambarkan sebagai tempat ritual keagamaan dan pemujaan. The City as Supernatural sangat memperhatikan nilai-nilai sakral yang membentuk jalur peradaban manusia dengan sendirinya. Kota juga digambarkan sebagai model dari alam semesta. Bentuk-bentuk yang tersusun pada akhirnya membentuk satu kesatuan yang dianggap sempurna. Dalam penyusunan tata letak ruang kota model kosmik, terdapat banyak aspek yang diperhatikan seperti fenomena alam. Pandangan-pandangan ini pada akhirnya digunakan untuk menentukan tempat-tempat yang strategis serta membawa keberuntungan dalam hidup dan membangun batasan-batasan yang jelas.

Teori normatif kedua yang muncul adalah The City as Machine, kota sebagai sebuah mesin. Teori ini muncul ketika peradaban manusia mulai mengenal teknologi dan keberagaman dalam upaya pembangunan. Kota dipandang sebagai seperti mesin yang mampu memenuhi kebutuhan industrialisasi.  Kota model ini dibangun dengan cepat dan peraturan yang sederhana. Tak jarang muncul bentuk-bentuk yang begitu kontras dari lingkungan sekitarnya sehingga kurang memperhatikan aspek lingkungannya, karena efisiensi pendistribusian bararng dianggap yang utama. Aspek alam kurang diperhatikan pada model kota mesin bahkan dianggap sebagai penghalang atau bencana dalam proses pembangunannya.

Model kota yang ketiga terbentuk dari analogi kota sebagai sebuah organik, berkembang seperti makhluk hidup. The city as organism melihat sebuah kota sebagai jaringan yang tumbuh di mana setiap elemennya memiliki fungsi masing-masing dan menopang satu sama lain. Kota sebagai makhluk hidup sangat bergantung satu sama lain, karena bila ada fungsi yang mati maka fungsi yang lain akan mati juga. Alam pun memegang struktur yang cukup besar dalam pembentukan kota model organik dengan menjadi sense of place di tiap bagian kota. Model kota ini berkembang dan diterapkan di banyak tempat di dunia hingga saat ini.

Kesamaan Bentuk Kota

Kota kosmik memiliki struktur kota yang berlapis-lapis. Hirarki yang dimiliki kota model kosmik terbentuk karena proses-proses ritual yang dilakukan oleh masyarakat. Tempat ritual akan berada di tengah, posisi yang dianggap strategis dan menjadi pusat dari peradaban saat itu. Sirkulasi yang terbentuk pada kota model ini menuju ke arah tempat pemujaan kepada Tuhan.

 

1
Kota Tenochtitlan, salah satu kota model kosmik (http://www.67.media.tumbl.com)

 

City as a machine memiliki pola ruang yang grid atau terkotak-kotak. Model kota ini memiliki sumbu berupa jalan yang lebar dan besar. Pertumbuhan kota akan mengikuti jalan tersebut. Proses ekonomi dan pendistribusian yang efisien menjadi awal terbentuknya jalan sebagai sumbu pada saat itu. Pendistribusian ini mengarah dari sumber daya alam menuju tempat di mana masyarakat yang berkuasa akan menggunakannya.

Penerapan grid pada rencana kota Philadelphia dan Terapan kota organic pada Greenbelt, Maryland

2

3

Pola yang terbentuk pada kota organik membentuk keseimbangan  Ciri organisasi ruang yang terbentuk dalam kota organik ialah membentuk kesatuan yang terdiri dari unit-unit yang fungsional. Dilihat dari susunannya, ketiga kota ini memiliki kesamaan bentuk pada sistem grid pada blok bangunan yang mengikuti konteks setting jalan yang menjadi sirkulasi sebuah kota. Model kota organik lebih tidak kaku dari dua model kota lainnya karena pertumbuhannya lebih fleksibel, namun unsur keteraturan tetap terasa dalam model kota organik. Dianalogikan seperti jaringan makhluk hidup, kota model organik juga memiliki jantung yang dianggap sebagai pusat dari segala aktifitas.

Kesamaan bentuk yang dimiliki oleh ketiga model kota ini digambarkan dengan adanya satu titik (core) yang menjadi pusat segala aktifitas. Pusat ini menjadi titik tumbuh kembang perkotaan yang pada akhirnya terbentuk karena adanya suatu hubungan antara yang berkuasa dengan pendukungnya. Kekuasaan dan kekuatan adalah unsur pembentuk kota yang yang tidak bisa dihindarkan. Bentuk-bentuk kota mengarah ke pusat kekuasaan namun jaringan pembentuk kota berupa sirkulasinya berubah seiring dengan pola pikir, budaya, dan kebutuhan manusia pada saat itu.

Perancangan Kota yang Baik

Kota yang baik tentu dirancang sesuai dengan kebutuhan manusia. Urgensi peradaban manusia membuat kota memiliki sejarah dan warnanya. Masing-masing teori memiliki kelemahan dan kelebihan tersendiri. Kota dalam cosmic theory memiliki nilai lebih pada keberadaan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Nilai yang terkandung pada kegiatan-kegiatan ritual tersebut dapat menimbulkan sense of place tersendiri bagi kota tersebut. luar.

Kota sebagai mesin dipandang dari sudut pandang ekonomi tentu sangat menguntungkan. Model kota ini dapat memberikan pergerakan ekonomi yang cepat dan optimal. Distribusi dari produsen ke konsumen pun dapat berjalan dengan baik.

Model kota bawaan dari kolonial ini mengutamakan jalan-jalan yang besar dan lurus karena mempertimbangkan aspek ekonomi. Sirkulasi merupakan sumbu utama dari pertumbuhan kota model ini. Namun, seperti yang kita lihat, pada saat ini sumbu-sumbu tersebut bisa menjadi landmark/ikon tersendiri bagi kota tersebut. Jalan Braga di Bandung merupakan contoh nyata bagaimana jalan yang awalnya diperuntukkan bagi distribusi biji kopi pada zamannya, pada saat ini menjadi tempat yang sangat berpengaruh keberadaannya di Kota Bandung

Kota yang tumbuh dengan model organik memiliki keseimbangan dalam hal integrasi manusia dan alamnya. Lebih fleksibel dan tidak sekaku dua model kota sebelumnya. Alam tidak lagi dipandang sebagai sebuah simbol yang sakral atau pun penghalang dalam proses pembangunan dan pembentukan sebuah kota. Aspek alam merupakan aspek yang seharusnya tidak ditinggalkan karena pada hakikatnya kita akan selalu hidup berdampingan dengan alam.

Disimpulkan bahwa perancangan kota yang baik adalah kota yang tetap menghargai dan menjaga nilai-nilai budaya yang ada. Kegiatan ekonomi merupakan pertimbangan penting dalam membangun sebuah kota, karena dengan ekonomi pula kota akan tumbuh dan berproses. Konsep ekologi merupakan konsep yang baru muncul setelah manusia sadar bahwa kita tidak mungkin hidup berpisah dengan alam. Lebih bijak ketika memilih berjalan beriringan dengan alam daripada mengesampingkan alam, karena alam memberi kita segala kebutuhan. Maka konsep nilai sejarah, ekonomi, dan alam merupakan satu kesatuan penting untuk membangun kota yang baik serta mampu memenuhi kebutuhan masyarakatnya.

Bentuk Kota di Indonesia

Indonesia sebagai negara berkembang memiliki sejarah pertumbuhan kota yang dimulai dari masa penjajahan hingga masa sekarang. Warna tiap kota yang dihasilkan pun berbeda-beda. Keberagaman budaya Indonesia sebenarnya bisa menjadi ciri khas untuk membentuk wajah perkotaan Indonesia. Terdapat kota yang kental unsur spiritualnya, dipengaruhi oleh penjajahan pada masa kolonial, begitu pula yang tumbuh mengikuti pusat perdagangan dan jasa.

Kota-kota di Bali dapat menjadi contoh dari kota spiritual yang dicintai banyak masyarakat dari dalam maupun luar negeri. Konsep dasar pada Arsitektur Tradisional Bali pun sangat kental dengan kosmologi seperti konsep Tri Hita Karana, orientasi Nawa Sanga atau Sanga Mandala, keseimbangan kosmologi Manik Ring Cucupu, Asta Kosala Kosali, serta Asta Mandala. Konsep-konsep perancangan tersebut terbentuk oleh budaya spiritual dan keyakinan orang bali terhadap hubungan yang harmonis antara manusia dengan dewanya. Bentuk dan tatanan yang mengikuti konsep ini diyakini akan mendatangkan kebahagiaan bagi terminologi masyarakat bali.

Peran pemerintah dalam menjaga budaya yang masih kental di Bali hingga saat ini pun cukup besar. Perda untuk pembangunan di Bali disusun mengikuti norma-norma yang berlaku di Bali seperti tinggi bangunan tertinggi tidak boleh melebihi tinggi pohon kelapa (15 meter). Upaya pelestarian seperti ini dapat dilakukan guna menjaga nilai yang telah terkandung pada sejarah kota tersebut dan tidak terkikis oleh zaman. Dalam upaya konservasi keindahan lanskap kota, pengambilan keputusan seperti ini perlu dilakukan.

 

4
Kota Denpasar (http://www.luxviz.com)

 

Kota Paris pun menerapkan pembatasan tinggi bangunan hingga 25 meter dengan tujuan menjaga skyline kota Paris dan Menara Eiffel selalu menjadi primadona berkat kiat pemerintah tersebut. Semangat menjaga konservasi lansekap untuk kota ini kurang lebih sama dengan keinginan masyarakat Bali yang menginginkan budaya Bali tidak hilang. Hal yang berbeda dari kasus Bali dan Paris adalah ketinggian bangunan di Bali dibatasi untuk menghormati pura-pura sebagai tempat sakral dan dihormati yang berada di kota-kota Bali.

Pada kota-kota kosmik seperti di Bali, detail menjadi bagian yang sangat menentukan. Seperti pada konsep kota kosmik, kotanya dibentuk sebagai upaya pemujaan terhadap Tuhan. Kota kosmik membentuk keharmonisan dan keindahan yang tertangkap baik secara visual mau pun harmoni. Sense of place pada kota di Bali begitu khas. Kota Denpasar sebagai kota yang padat di Bali pun tetap terasa berbeda karena adanya hawa dan pembawaan spiritual pada setiap detail yang diberikan di wajah-wajah pembentuk jalannya.

 

Reference
Lynch, Kevin. (1981): Good City Form. MIT Press, New York.

 

 

Travel Diary: (Ur)Bangkok #1

Haha! Setelah sekian lama ingin menulis cerita bahagia satu ini, mari kita cerita soal studi eksekursi Rancang Kota ITB 2016 yang alhamdulillah dapat destinasi ke Bangkok! Begitu heboh (mungkin hanya saya) karena saya belum pernah ke Bangkok. Sebelum berangkat, tentu hal yang paling repot dan menyenangkan adalah tahap persiapannya. Sebagai sekretaris, saya berada di garda depan saat menyiapkan dokumen-dokumen terkait proposal dan pendanaan untuk kegiatan yang satu ini. Berkali-kali revisi -untung dibantu Ivan- akhirnya proposal ini bisa selesai tepat pada waktunya. Ceritanya studi eksekursi ini dibantu oleh uang tabungan studio kami dan sponsor dari BJB (terima kasih BJB!). Kita berangkat menggunakan tiket promo dari Airasia (yang pulangnya sempat drama) dengan direct flight. Bertolak dari Bandung pukul 07.30 untuk flight jam 16.00 dan biasalah ya namanya anak-anak, rusuh banget di dalam travel. Kety lupa nanyain saya mau bubur atau enggak, padahal semua squad perempuan dibeliin bubur, kecuali saya. Perjalanan lancar kecuali di tol dalam kota, itu macet banget. Saya sampai berkali-kali nyeletuk, “ini sebenernya orang-orang masuk kantor jam berapa kok jam segini masih ada di jalan?”. Mungkin mereka semua telat.

DSCF7528
Geng heboh ceria: Kety, Marisa, Wiwid, Aco, Dini

Welcome to Bangkok! Sekitar jam 19.00 waktu sana kita mendarat di Don Mueang International Airport (DMK). Kesan pertamanya? Kita ketawa gara-gara denger pengumumannya, bahasanya super ajaib yang artinya kita jarang denger dan membuat kita jadi tertawa-tawa saat mendarat. Karena sudah malam, kita langsung bertolak ke hotel menggunakan Uber. Ada yang menjual kartu gsm di pintu keluar, tenang saja, kita bisa langsung online saat tiba di sana (sebenarnya yang paling penting adalah…. butuh itu untuk Uber). Kita dibagi menjadi tiga kelompok, satu kelompok isinya 4 orang dan berarti setiap perjalanan udah gak ribut-ribut lagi yang ini mau naik mobil sama siapa yang itu sama siapa. Karena gps handphone Marisa menclok 500 meter dari aslinya, akhirnya susah juga kalo jadi koordinator uber di kelompok (walaupun kadang-kadang pakai punya Marisa juga), akhirnya posisi ini diserahkan pada 2 teman yang lain. Pengalaman menggunakan Uber di sana? Menyenangkan kok. Tidak terasa sulit sama sekali, kadang yang bikin sulit ketika driver nya tidak bisa Bahasa Inggris, nah itu baru sulit. Pasti pernah kan dalam drama transportasi online kita suka ditanya, “Mbak ditunggu di mana?” nah karena kita suka bingung jelasinnya (karena gak tau daerahnya) jadi suka bingung gitu. Sesekali kita menggunakan Grab karena lebih murah dan ada promo-promo. Jadi saran saya, saat tiba di Bangkok, buat saja dua akun dari Uber dan Grab karena akan berguna sih dan kadang Grab datangnya lebih cepat dari Uber (beberapa kali kejadian, memang Grab selalu lebih cepat dari Uber pas kemarin di sana). Silahkan dipilih.

DSCF7533
Selamat datang di Don Mueang (DMK) – Lalu sambutan dari wanita berbahasa thailand di speaker mengalihkan kami.

Day 1

Slide4

Slide5

Kita menginap di 3Howw Hostel Sukhumvit 21 dan membooking dari Indonesia via booking.com. Pembayaran kita lakukan di tempat dan awalnya kita mengira tidak ada uang deposit, eh ternyata ada dong. Dan lumayan besar menurut kita depositnya, 500bath (sekitar 300 ribu waktu itu). Kalau tidak mau tinggal deposit, kita boleh tinggal paspor (ya ini kan bahaya banget jalan-jalan gak pake paspor). Akhirnya masing-masing dari kita meninggalkan deposit dan ternyata lucky nya kita jadi inget kalo ternyata pas pulang kita masih pegang uang banyak, horeee… Bahkan waktu pulang ke Indonesia, sisa uang jajannya masih banyak (mungkin karena saya juga gak belanja ya). Lanjutkan! Hari pertama kita mencoba naik BTS atau yang biasa dikenal dengan skytrain dari stasiun terdekat yaitu Asok. Karena perjalanan kita didominasi oleh Uber, akhirnya kita tidak membeli kartu trip tapi beli semacam bentuk koin dari plastik gitu di vending machine. Eh, ternyata di vending machine ribet karena jumlahnya banyak, akhirnya Aco berjalan ke pusat informasi untuk langsung beli banyak.

Kita turun di Hua Lamphong dan melanjutkan perjalanan dengan Uber ke Wat Pho. Karena kami mahasiswa, kami tidak ke Grand Palace karena… tiketnya lumayan mahal. Yasudah, kita ke Wat Pho saja. Wat Pho adalah salah satu kuil yang memiliki daya tarik patung Sleeping Budha. Ketika sampai, cuaca sedikit mendung menuju hujan dan satu kelompok yaitu kelompok Aco tertinggal alias nyasar entah ke mana. Jadi kita sempat menunggu hampir satu jam di dekat loket penjualan tiket dan akhirnya Aco and the gank muncul hehe. Selama menunggu Aco and the gank ini banyak kejadian dan tingkah yang sudah kita lakukan selama di tempat menunggu mau masuk kawasan komplek. Dari yang foto-foto, dubbing suara orang, mencari kipas angin, hingga mainan sama tupai di pinggir jalan. Komplek Wat Pho ini termasuk besar dan memiliki fasilitas untuk tourism yang mumpuni. Kamar mandinya saya acungi jempol karena faktor kenyamanan dan kebersihan yang dijunjung tinggi. Pokoknya area pariwisata yang dirawat dengan sangat baik. Mungkin kami datang termasuk di peak season karena ramai sekali apalagi saat di bagian sleeping Budha (kipas angin menjadi barang mahal).

Sehabis dari Wat Pho, kita melanjutkan perjalanan ke Lak Muang Shrine yang menjadi pusat spiritual dari Kota Bangkok (makanya kan pas di rundown ada keterangan make a wish ya).  Dari komplek Wat Pho kita jalan kaki ke Lak Muang Shrine dan itu so hot banget. Beberapa teman sudah mengeluarkan payung untuk melindungi dari panas. Karena saya pegang-pegang kamera, jadi saya memutuskan untuk pakai topi saja. Kadang saya dipayungin, tapi terus kabur karena kepisah saking ramenya wisatawan yang ada di sepanjang jalan menuju Lak Muang Shrine. Oh iya, aktivitas yang kita lakukan di Lak Muang Shrine adalah… ngadem.

 

 

DSCF7664
Lak Muang Shrine

Selepas dari Lak Muang Shrine adalah waktunya…. makan!! Oh iya, waktu di rundown kan harusnya hari ini jadwal ke National Museum. Ternyata setiap hari Selasa, National Museum Bangkok itu tutup. Akhirnya jadwal pun ditukar dengan jadwal jalan-jalan yang harusnya ada di hari kedua. Sebelum jalan-jalan lagi, kita makan dulu di restoran yang spesialnya adalah martabak (cari-cari foto tapi enggak ada, hix). Setelah makan siang kita lanjut untuk bertepi di pinggir sungai di taman Santi Chai Prakan Park yang berada tepat di depan tempat makan kita.

 

 

DSCF7711
Santi Chai Prakan Park. Tempat dimana bisa leye-leye di pinggir sungai

 

Destinasi berikutnya adalah destinasi wisata yang terkenal di Bangkok. Namanya Khao San Road. Di sini kita bisa belanja produk-produk Bangkok yang basisnya PKL, mungkin kaya di tanah abang gitu atau mayestik kalo di Jakarta. Benda-benda yang dijual di sini seperti baju, celana, tas, dan mango sticky rice yang bertebaran di sepanjang jalan ini. Oh iya, waktu ada di jalan ini suka ada yang jual serangga buat dimakan ituloh seperti jangkrik, kalajengking, dkk. Jangan ambil fotonya ya, karena untuk mengambil fotonya kita perlu bayar. Kalo kita ga bayar, ntar abangnya ngomel-ngomel. Penting untuk selalu memperhatikan dimana kita bisa ambil foto atau engga kalo gakmau dimarahin.

 

DSCF7790
Penampakan Khao San Road + Marisa, hehe

 

Selama di Khao San Road ini, kita mencar-mencar sesuai sama minat apa yang mau dibeli. Lupa waktu itu berkelompok sama siapa, gak sengaja pas masuk-masuk di alley nya Marisa menemukan pembatas buku motif batik gitu warna pink ada gantungan gajah khas thailandnya. Beli itu sekitar 8 bath di toko pernak-pernik dan aksesoris. Senang. Khao San Road jadi pemberhentian terakhir kita hari ini sebelum dilanjutkan dengan makan malam tom yum dan mango sticky rice!!!! (gatau ya, sejak pulang dari Thailand sangat freak sama mango sticky rice). Ya begitulah perjalanan hari pertama ini. Ntar ya, video cuplikan cilik-cilik hari pertamanya belum dibuat. Nanti kalau udah release link nya mau ditambahin di sini. Sampai jumpa di trip Travel Diary: (Ur)Bangkok #2!!

tulisan ini dibuat sebagai pelarian ingin menulis yang santai dan tidak baku. mohon maaf bila banyak sekali kata yang tidak baku ya.

Bogor dan Inovasinya

Indonesia, tanah kelahiran yang saya banggakan.

Di balik kemelut kemacetan perkotaan Indonesia, ternyata tersimpan banyak cerita bahagia di antara berita polusi dan kriminalitas yang ada. Tahukah kita bahwa kota-kota di Indonesia sedang berbenah untuk memperbaiki kualitas hidup masyarakat yang tinggal di bersamanya? Di sini, saya akan bercerita tentang kota yang paling lama saya singgahi, Kota Hujan, Bogor.

Sebagai insan manusia yang nomaden alias selalu berpindah-pindah, Bogor selalu menjadi kota yang saya rindukan di banding kota lain. Suatu ketika, saya mendapatkan kesempatan untuk interview dengan salah satu instansi di kota tetangga. Saat saya bercerita mengenai Kota Bogor, tanggapan yang saya dengar adalah, “Bogor itu kota yang semerawut dan berantakan, Mbak.”

Sungguh?

Dalam kesempatan ini, izinkan saya untuk bercerita mengenai perkembangan Kota Bogor yang cukup signifikan. Terima kasih kepada masyarakat dan bapak walikota Bima Arya yang turut menjadikan Bogor begitu dirindukan. Di tahun 2016, Bogor memenangkan penghargaan dari World Wide Fun for Nature (WWF) di ajang We Love Cities, The Most Lovable City 2016. Dalam kampanye ini, kemenangan Kota Bogor tak luput dari dukungan masyarakatnya serta ide-ide brilian dari para voters untuk menjadikan Kota Bogor sebagai kota yang berkelanjutan (sustainable cities). Kota Bogor unggul dari 45 kota lain di 20 negara yang ikut andil dalam kampanye ini. Ini menandakan bahwa Kota Bogor sedang bersungguh-sungguh dalam menanggapi isu iklim global dan siap bertransisi menjadi sustainable city.

Upaya menjaga keseimbangan pembangunan dan kedekatan Bogor dengan lingkungan ekologinya ditandai dengan pembangunan infrastruktur berupa pedestrian yang memadai dan membuat masyarakat Bogor memiliki kesempatan untuk berjalan dengan aman dan nyaman. Selain pembangunan infrastruktur untuk pedestrian, Bogor juga menggalakkan pengadaan taman-taman kota atau ruang publik untuk berinteraksi antar sesama masyarakat.

Salah satu ruang publik yang cukup terkenal di Kota Bogor bernama Lapangan Sempur. Lapangan ini terletak cukup strategis dari pusat kota dan terhubung dengan berbagai rute kendaraan umum. Tahun ini, Bogor melakukan inovasi desain untuk memadai kehausan warga Bogor atas ruang publik yang lebih baik. Inovasi desain itu telah dikabarkan Bapak Bima Arya dan Pemerintah Kota Bogor.

1
Lapangan Sempur Sebelum Dipugar untuk Renovasi

Lapangan Sempur adalah ruang publik yang memiliki rute lari, area voli, senam, skateboard, lapangan basket, refleksi, dan berdampingan dengan Taman Ekspresi. Dari kabar yang disiarkan, perbaikan mencakup dalam segi lansekap, desain ruang interaksi, tumbuhan, pengadaan ornamen taman, serta nama Sempur yang akan disamakan dengan tipologi penulisan nama-nama taman lain di Kota Bogor. Terlihat jelas bahwa inovasi desain yang dilakukan bertujuan untuk mempercantik Lapangan Sempur dan serta memperbaiki fasilitas untuk menuju kota Bogor menjadi kota yang terdesain tanpa mengurangi nilai yang ada.

13775782_476479845880047_6037549409015905804_n

13718766_476479829213382_4121187928815475665_n
Inovasi Desain untuk Renovasi Lapangan Sempur. (Sumber: Pemerintah Kota Bogor, 2016)

Dalam dunia desain, terutama Arsitektur, sebuah ide baru dapat dikembangkan dengan mengambil contoh baik dari luar negeri maupun dalam negeri yang tetap kontekstual dengan kearifan lokal negara Indonesia. Sebagai seorang yang gemar mengambil foto, ternyata Indonesia sangat beruntung dengan keragaman flora dan hehijauan yang tumbuh di perkotaan. Ketika kita menciptakan ruang interaksi yang bersinggungan dengan alam, kita dapat memanfaatkan kebaikan eksisting dari alam di sekitar tempat yang akan kita rancang dan bangun. Begitulah Pemerintah Kota Bogor me-redesain Lapangan Sembur menjadi lebih cantik tanpa mengurangi eksisting yang ada.

Ada pun pengadaan ruang publik dan perbaikan fasilitas yang telah ada membuat warga Bogor semakin tergerak untuk berinteraksi dengan ruang luar dan meluangkan waktunya untuk refreshing sejenak. Ruang publik menjadi wadah yang sangat efektif untuk komunitas berkomunikasi dengan masyarakat, kegiatan bersama, bahkan sebagai media untuk berinteraksi sosial hingga berolahraga. Di akhir pekan, sebagian ruang-ruang publik di Kota Bogor yang telah direnovasi kedatangan banyak pengunjung baik dari kalangan muda maupun dewasa.

Indonesia selalu berbenah. Semua proses dengan niat yang baik akan menghasilkan tujuan yang baik pula. Indonesia tidak pernah tinggal diam, banyak putra-putri bangsa yang optimis bahkan beraksi untuk turut andil dalam upaya pembangunan Indonesia.

Saya percaya bahwa kelak, Indonesia akan menjadi negara maju yang sangat mencintai daerahnya baik secara mikro maupun makro. Sebagai masyarakat sekaligus pengguna fasilitas yang ada, baiknya kita mendukung pemerintah dengan memanfaatkan fasilitas yang ada dan menjaganya dengan baik. Semoga kelak, ruang-ruang publik hingga infrastruktur di Bogor serta kota lain di Indonesia akan setara bahkan lebih baik dari kota-kota maju di dunia sekaligus menjadi contoh yang baik bagi kota di sekitarnya.

Superkilen Park, Copenhagen

suk_image_by_iwan_baan_26

Superkilen by BIG, Superflex, & Topotek 1 (sumber gambar: http://www.archdaily.com)

“Saya tidak suka bermimpi. Saya lebih suka terjaga untuk mengejar cita-cita. Kalau kata Rudy Habibie, “daripada menyebutnya mimpi, saya lebih suka menyebutnya cita-cita, karena itu akan dapat saya gapai.”

Sebagai pribadi yang menyukai dunia jalan-jalan, tentu membuat wishlist tempat impian yang ingin saya kunjungi adalah hal yang lumrah. Terdapat 100 tempat di dunia yang ingin saya kunjungi bila Tuhan memberikan kesempatan. Salah satu tempat itu adalah urban space Superkilen yang terletak di Copenhagen. Awalnya, tempat ini mencuri perhatian saya karena warnanya yang begitu mencolok. Warna-warna seperti ini tidak umum berada dalam satu kawasan karena warnanya tidak ‘netral’.

Ketika saya berada di dunia proyek, warna-warna seperti ini sangat sulit tembus desainnya dengan alasan warna ini tidaklah normal dan tidak bisa diterima semua orang. Berbeda dengan warna standar seperti biru atau kuning atau kami menyebutnya warna-warna aman.

BIG adalah salah satu starchitect yang keberadaannya seringkali diprotes oleh sebagian lingkungan saya. Desain-desain yang nyentrik dan kadang tidak kontekstual hingga beda sendiri membuat BIG bukan menjadi sosok arsitek kesukaan kami. Namun, bagi saya pribadi, proyek ini membuat pandangan saya tentang BIG berubah. Bukan seketika lantas suka, namun berusaha memahami perspektif yang lain dan tidak menutup kemungkinan atas desain apapun yang terjadi di muka bumi ini.

Superkilen yang berada di Copenhagen ini terbentang seluas 30.000 m2 pada tahun 2012. Proyek ini mem

 

Referensi
http://www.archdaily.com/286223/superkilen-topotek-1-big-architects-superflex
http://www.ideaonline.co.id/iDEA2013/Kabar/Info-Properti/Merayakan-Keragaman-Dunia-di-Ruang-Publik-SUPERKILEN
http://www.detail-online.com/article/three-colours-red-black-green-landscape-park-in-copenhagen-16511/

 

Astronot yang Rindu Pulang

IMG_6658

Kota, kota, kota. Mahasiswa perancangan kota tapi jarang berjalan-jalan mengelilingi setiap sudut kota, apakah masih relevan? Semua selalu bilang, enak sekarang ada internet, bisa jalan-jalan dari layar. Tapi kamu pasti paham kan, jalan-jalan lewat layar dengan merasakan secara langsung adalah dua hal yang sangat berbeda. Orang bilang, kuliah di dunia perancangan itu sama seperti astronot. Di studio terus, 24/7, pikirannya 24/7 studio, makan kepikiran studio, tidur kepikiran studio, bahkan menulis hal yang bukan berurusan dengan studio pun kepikirannya studio. Benar tidak? Bagiku bagaimana ya? Walaupun teman-teman tidak mau tahu, tapi sini aku ceritakan secara gamblang bagaimana diriku bersahabat dengan dunia perancangan kurang lebih 7 tahun belakangan ini. Mulai dari menjadi mahasiswi Arsitektur di Brawijaya, bekerja menjadi seorang junior arsitek lanskap, hingga sekarang menjadi mahasiswi (lagi) di magister rancang kota di Bandung.
Sewaktu kecil, aku bercita-cita menjadi astronot atau agen perempuan keren di FBI, superspy gitu lah ya. Di sini, aku dapat dua-duanya. Katakanlah aku dapat jadi astronot, bulan adalah studio, studio adalah bulan. Seragamku adalah jaket yang setia menemani di segala kondisi. Mau panas, hujan, terik, hujan es, hujan angin, serangan AC alias Air Conditioner dalam studio, itulah seragam astronotku. Jadi, impianku menjadi astronot terkabul bukan? Bagaimana dengan mimpiku menjadi agen FBI? Terkabul juga. Tapi kalau ini bukan tentang misi-misi politik ataupun dendam pribadi seperti di film Mission Impossible gitu. Aku superspy yang mengamati setiap gerak-gerik aktifitas pola perilaku masyarakat di suatu wadah dalam kota yang saya tinggali. Ketika meneliti sesuatu, kita akan mengamati, mencari tahu, apa fungsi utama, kenapa hal tersebut ada di sini, kenapa masyarakat cenderung mau lewat jalan ini daripada jalan yang satunya, mengapa public space di sini sepi tapi yang di dekat alun-alun ramai? Yah… Kurang tepat sebenarnya bila menganggap itu sebagai profesi superspy yang menggunakan baju hitam seperti yang sering teman-teman lihat di televisi, tapi boleh kan aku menganggapnya seperti superspy yang keren tapi dalam cara yang berbeda? Boleh.

IMG_6019

Lanjut!
Maka munculah demo-demo menuntut hak mahasiswa untuk mendapat pembelajaran di luar kampus, seperti ekskursi, studi lapangan, workshop, dan lain-lain. Kadang kalau tidak diagendakan oleh pihak kampus, akan terdapat dua kemungkinan yang terjadi. Alasan yang pertama adalah waktunya tidak ada! Bentrok dengan perkuliahan dan studio sana sini yang menyebabkan kami sulit keluar dari stasiun luar angkasa ala kami. Hal kedua adalah melawan rasa takut karena bila berpergian, tugas tidak akan selesai. Walaupun saya termasuk dalam kategori mahasiswa ‘’slow aja tapi tetap memiliki target”, jujur dalam lubuk hati, perihal tugas ini selalu berlari-lari dalam pikiran saya di manapun saya sedang makan ataupun main handphone. Hal ini terjadi pada mahasiswa yang tipe “slow mode” seperti saya, bayangkan apa yang terjadi dengan teman-teman saya yang tipenya bukan slow mode? Perang dunia III pecah. Massa menyerang dari segala lini untuk bertanya, “Ini tugas diapain ya? Kenapa tidak selesai-selesai?”

Dan untuk beberapa orang di bumi yang melihat kami para astronot sedang berjuang melakukan penelitian di ruang angkasa kami, akan selalu timbul pertanyaan, “Kamu lagi apa? Nugas ya? Kok tugas kamu gak selesai-selesai?” Lalu pertanyaan itu seketika menjadi bom waktu yang sudah siap dijawab dengan jawaban, “Saya mahasiswa Mas/Mbak. Wajar kalau hidupnya bersama tugas, lebih aneh kalau hidupnya ada di dalam air sambil diving setiap hari.” Jangan anggap itu bentuk sarkas, tapi ungkapan itu adalah kegundahan kami atas jawaban bahwa “Kami juga maunya tidak begini, tapi ini tanggung jawab yang harus diselesaikan dengan baik dan bersungguh-sungguh agar nantinya bisa dipertanggung jawabkan. Begitu bukan?”

IMG_6980
Kalau survey dari matahari terbit hingga matahari terbenam, letih dan bahagia dalam saat yang bersamaan karena dilakukan bersama-sama.

Kamu kok jadi ngelantur, Marisa? Jadi inti dari tulisan ini sebenarnya mengajak teman-teman astronot, para mahasiswa rancang untuk senantiasa meningkatkan moodnya dan menyingkirkan berbagai alasan untuk sekedar berjalan kaki mengelilingi ruang kota. Kalau kata Pak Uli, dosen saya yang sangat keren, menjadi seorang urban designer itu sangat dituntut kepekaannya. Tulisan ini pun bentuk refleksi saya yang akhir-akhir ini jarang keluar stasiun luar angkasa alias studio karena tugasnya begitu banyak dan tiada henti. Ini bukan mengeluh, hanya saja sebuah bentuk cerita betapa tidak jalan-jalan dapat membuat saya menjadi kurang peka dan tidak update. Padahal laboratorium saya dan teman-teman berada di sekeliling kami, begitu besar dan gratis untuk diamati, ruang kota kami. Mari belajar di luar kampus, mari pulang sejenak ke bumi (habis  UAS maksudnya!).

Salam hangat,
Mahasiswi semester 2 yang akan kedatangan UAS beberapa hari lagi.

Ali’s House Project, Bandung (2014)

Arsitek dengan Klien itu partner!

Ketika mengerjakan sebuah proyek, saya selalu dihantui perasaan “Ini kalau sampai ada miss design, dampaknya selamanya.” Apalagi ketika mendesain sebuah rumah tinggal. Proyek rumah tinggal adalah proyek yang paling challenging bila menurut saya. Mengapa? Manusia yang tinggal di balik atap ini akan hidup hampir 24 jam dalam hidupnya. Ia akan membentuk jiwa, membangun kebahagiaan, berbagi kesedihan, dan melakukan segala aktivitas sehari-harinya di atas desain kita. Dari dasar inilah penting bagi kita untuk berkomunikasi dengan klien ketika mendapatkan sebuah proyek rumah. Berdasarkan pengalaman saya, membangun komunikasi dengan klien tidaklah semudah yang dibayangkan. Tidak semua klien sama, ada yang pengertian, ada yang tiba-tiba merasa tidak cocok dengan kita dan benar-benar menghilang, dan ada juga yang terlalu baik sampai kita yang tidak enak hati untuk melakukan sebuah kesalahan.

Project Name : Ali’s House
Location : Bandung, West Java, Indonesia
Building area : 124,5 m2
Type : Residence
In colaboration:
1. Randy Hardyanto
2. Muhammad Zulfikri
Year : 2014

Cerita pagi ini saya fokuskan pada hubungan saya dengan salah satu klien saya yang sangat baik hati. Saya dihubungi kurang lebih 2 minggu sebelum akhirnya mulai memikirkan desainnya. Di sini, saya menjadi jembatan utama antara tim dengan klien. Peran kemajuan teknologi sangat besar untuk kelancaran proyek jarak jauh ini. Posisi saya dan tim berada di Malang sedangkan proyek ini berada di Bandung. Saling kirim mengirim gambar pun sering terjadi selama proses mendesain. Setelah segala kemungkinan kendala kami coba atasi, maka kami bekerja dengan menggunakan kontrak untuk melindungi kedua belah pihak dari hal-hal yang tidak diinginkan dan koridor pekerjaan kami menjadi sangat jelas.

Kami memanggilnya Ibu Ali. Ibu Ali adalah seorang ibu rumah tangga dengan tiga anak. Ia tinggal di sebuah hunian padat penduduk di Kota Bandung dan menghubungi saya untuk meminta tolong merenovasi rumahnya. Pada awalnya, Ibu Ali tidak cerita mengapa ia mau merenovasi rumahnya. Hingga pada akhirnya, rumah berukuran 15 x 8,3 m itu diharuskan memiliki sebuah kamar mandi difabel.

“Ibu saya sakit Mbak, jadi saya berharap rumah ini sudah siap tinggal kurang lebih 2 bulan lagi karena Ibu saya akan segera pindah. Sekarang, beliau harus menggunakan kursi roda untuk melakukan aktivitasnya. Tolong dibuatkan desainnya yang memudahkan mobilitas beliau tapi juga minim biaya renovasi ya Mbak.”

Awalnya kami sempat ragu untuk menerima proyek karena kesibukan menyusun skripsi pada saat itu, namun dengan niat membantu niat baik Ibu Ali, akhirnya kami bertiga memutuskan untuk memprioritaskan proyek ini. Dimulailah proses mendesain. Tantangan pertama yang kami dapatkan adalah rumah ini tidak hanya akan dihuni oleh orang tua Ibu Ali, namun juga ketiga anak Ibu Ali yang kurang dari 5 tahun. Beberapa aspek keamanan seperti keamanan tangga, sudut-sudut ruangan pun harus kami perhatikan.

Hal pertama yang paling saya ingat adalah Ibu Ali menginginkan ruang tamu yang besar dan lapang untuk tempat bermain anak-anaknya. Maka kami menyarankan untuk satu ruang tidur dipindahkan ke atas, namun ide kami itu kurang tepat. Kami sempat melupakan bahwa ruang kamar orang tua Ibu Ali pastilah berada di lantai 1 dan akan membutuhkan satu kamar lagi untuk menemani kedua orangtua Ibu Ali di lantai 1.

“Semua anak-anak akan berada di lantai 2 Mbak. Tolong desain tangganya yang aman bagi anak-anak ya, jangan terlalu curam. Karena buku kami sangat banyak, bila bisa minta tolong didesainkan storage (tempat penyimpanan) buku di bawah tangga.”

Tiga alternatif kami buat karena mencari posisi tangga yang tepat dalam bangunan ini tidaklah mudah mengingat konstruksi yang sudah terbangun dan kami ingin mempertahankan eksisting sebanyak mungkin untuk menekan biaya konstruksi. Selain dari posisi yang nantinya akan mempengaruhi jumlah anak tangga dan kemiringannya, pemilihan material pun ikut andil bila kita ingin mendesain sebuah desain yang ramah anak.  Prioritas kami adalah keselamatan dan kami meletakkan tangga di antara ruang tamu dan ruang makan (ruang keluarga) agar dapat terus terpantau dan juga tempat yang paling possible untuk digunakan ruang tangga yang luas.

Untuk rumah dua lantai, masalah pencahayaan kerap menjadi momok menakutkan. Lantai satu bisa menjadi sangat gelap bila kita tidak hati-hati dalam mendesainnya. Area piano akan berada di sekitar ruang makan dan dapur, maka kami membuat area void di sana. Posisi ini sangat menguntungkan karena sliding door dari ruang makan menuju taman belakang akan memberikan banyak efek luas dan memasukkan banyak cahaya. Ketika dipasangkan void di sini, pencahayaan pun akan sampai di lantai 2.

12
Rancangan dapur, area makan, dan ruang piano.

 

Capture
Satu dari tiga alternatif denah yang kami kondisikan untuk kebutuhan Ibu Ali. 

Proses pengerjaan berlangsung kurang lebih tiga minggu, hampir tiga hari sekali saya menyampaikan proggress untuk meminimalisir hal-hal yang menjadi bisa menjadi obstacle selama proses mendesain. Hal yang paling penting bagi saya untuk terus berkomunikasi adalah kami berhasil membentuk apa yang diimpikan oleh Ibu Ali untuk keluarganya. Kami di sini bertugas sebagai fasilitator yang membantu mewujudkan impian Ibu Ali dan keluarganya.

Tim saya tidak pernah berdebat terlalu alot perihal desain, karena Ibu Ali biasanya menyetujui desain kami dan cara komunikasi beliau dengan kami pun sangat kami apresiasi. Contohnya, “Mbak desain yang ini sudah baik, tapi boleh tidak kalau saya menambahkan ini di sini. Sepertinya lebih cocok kalau di sini.” Kami tidak langsung mengerjakan, namun mendiskusikannya terlebih dahulu dengan tim, bila dikira permintaan itu pada kenyataannya memang lebih baik dari hasil desain, kami pun menyampaikan bahwa saran Ibu Ali bisa kami kembangkan karena memang itu pilihan yang terbaik di antara pilihan yang ada.

Hingga pada akhirnya, desain ini terbangun namun orang tua Ibu Ali belum sempat merasakannya karena harus ‘pulang’ terlebih dahulu. Kami pun merasakan kesedihan yang teramat dalam namun hal yang tidak kami sesali adalah kami sudah berusaha semaksimal mungkin untuk mewujudkan desain ini secepat mungkin dan sebaik mungkin (sesuai dengan kebutuhan dan impian Ibu Ali). Bagi kami, niat mulia Ibu Ali memberikan kami banyak pelajaran berharga tentang sebuah ketulusan kepada orang tua. Saya dan tim pun bersyukur mendapatkan klien yang memberi kami banyak pelajaran dan begitu pengertian kepada kami. Ya, tidak semua klien bisa sepengertian Ibu Ali namun itu membuat kami sadar bahwa setiap orang memang berbeda-beda. Seperti kata Raul Renanda di buku 99 Untuk Arsitek, “Seorang arsitek adalah sebuah ‘alat’ bagi klien untuk menghasilkan karya yang baik. Pastikan kita memahami apa yang diperlukan oleh klien dan kita dapat menyesuaikan apa yang mereka perlukan.” Beberapa pertanyaan yang dapat ditanyakan pada diri kita sendiri:

  • apakah kita membutuhkan proyek ini agar dapat mewujudkan ide kita?
  • apakah kita membutuhkan proyek ini untuk ‘mencari makan?’
  • apakah yang kita lihat adalah sebuah relasi jangka panjang dengan sang klien?

Saya dan tim saya sevisi dalam hal ini bahwa kami lebih mementingkan sebuah hubungan manusia, relasi jangka panjang dengan sang klien. Di sinilah, ego perlu dikendalikan untuk menghasilkan sebuah produktivitas yang bermanfaat.

Bandung, Maret 2017
Marisa Sugangga

 

Membicarakan Fenomena “Urban Sprawl”

dki-jakarta
Ibukota Indonesia (sumber gambar: ilmupengetahuanumum.com, diakses pada 14 Desember 2016)

Fenomena urbanisasi di mana migrasi dari desa ke kota untuk mencari penghidupan yang lebih baik telah membuat sebuah kota kelebihan muatan kapasitas di dalamnya. Kota yang pada awalnya direncanakan untuk 600.000 jiwa sekarang harus kelelahan menampung 3.000.000 jiwa di mana tidak semuanya adalah warga asli kota tersebut. Salahkah penduduk yang bermigrasi tersebut? Ketika urusan perut menjadi sebuah alasan untuk mereka berpindah, apakah perpindahan mereka masih dianggap hal yang salah?

Pernahkah teman-teman mendengar tentang urban sprawl? Diambil dari bahasa inggris, istilah ini berarti acak atau menyebar. Hal ini berarti kota berkembang ke arah yang tidak teratur, secara acak, serta di luar dari perencanaan yang sudah ada. Salah satu penyebab fenomena ini terjadi adalah pemikiran masyarakat bahwa harga tanah di daerah pinggiran kota akan lebih murah daripada harga tanah di perkotaan. Akan banyak masyarakat yang memilih untuk mempunyai pemukiman di daerah pinggiran dan melakukan aktifitas ekonomi seperti bekerja di pusat kota.

Hal ini memicu perubahan secara tidak terkontrol pada RTRW (Rencana Tata Ruang dan Wilayah) di daerah pinggiran/pedesaan menjadi didominasi oleh area pemukiman. Kota yang ideal berkembang mengikuti rencana yang telah dibuat oleh pemerintah. Kota yang ideal. Pada realitanya, fungsi kontrol yang lemah dari pemerinta untuk mengawasi setiap sektor dan lini pembangunan membuat rencana tidak terealisasi dengan baik. Seharusnya kita baru dapat melihat sukses atau tidaknya sebuah perencanaan dalam kurun waktu tertentu. Misalnya daerah A memiliki perencanaan dalam kurun waktu 20 tahun. Kita dapat mengevaluasi rencana itu setelah hal tersebut berjalan sesuai rencana dalam 20 tahun. Tidak dapat dipungkiri, hal tersebut masih sulit untuk dicapai. Saya sempat bertanya pada teman saya, “Adakah kota yang ideal? Kota yang tidak terkena dampak urban sprawl?”. Jawaban yang dilontarkan sesuai dengan ekspetasi saya, “Hampir tidak ada.”

Konsep kota ideal tanpa urban sprawl masih sulit diwujudkan. Kendala utama yang menyebabkan hal ini terjadi adalah tidak terkontrolnya sebuah pembangunan. Polemik yang terjadi memiliki siklus yang sulit diputus. Pembangunan saat ini banyak dikuasai oleh pihak swasta karena pemerintah tidak memiliki dana untuk merealisasikan rencana pembangunan mereka sendiri. Tidak dapat disalahkan bahwa pihak swasta akan lebih banyak bermain di profit-oriented di mana keuntungan yang masuk haruslah sebanyak-banyaknya.

Kota yang terencana tidak akan mengalami urban sprawl. Mungkinkah hal ini terjadi? Tidak ada yang bisa mengontrol setiap kegiatan dan pembangunan yang dilakukan oleh masyarakat. Mengingat hal ini sulit diwujudkan maka langkah adaptif yang dapat dilakukan oleh kita sebagai pihak yang mengetahui bagaimana seharusnya kota terbentuk adalah mencari solusi. Solusi yang mampu mereduksi dampak negatif yang timbul akibat urban sprawl dan perubahan RTRW ini. Contohnya seperti memperkuat sektor UMKM sebagai aktifitas ekonomi yang masih mendominasi di area pinggiran/pedesaan. Dengan memperkuat UMKM, maka ekonomi yang timbul tidak melulu mengarah ke perkotaan namun juga ekonomi pada area pedesaan ikut dimajukan.

Fenomena ini tidak hanya mengakibatkan perubahan lahan saja. Konteks yang mencakup area ini cukup luas termasuk dampak sosial yang timbul. Masyarakat pedesaan pada akhirnya harus menyingkir karena lahannya digunakan untuk kaum berpenghasilan baik yang memilih untuk tinggal di area pinggiran. Meningkatkan pasar jual kendaraan untuk mencapai tempat kerja dari area pemukiman. Kemacetan akan timbul seiring dengan kebutuhan manusia untuk menggunakan kendaraan pribadi untuk mencapai tempat kerjanya sehari-hari.

Dampak positif yang timbul dari fenomena ini sebenarnya membuat daerah pinggiran menjadi lebih diperhatikan potensinya untuk dikembangkan dan dibantu meningkatkan fasilitas infrastruktur kotanya. Namun yang menjadi pertanyaan, untuk siapakah infrastruktur dan pembangunan itu dilakukan? Untuk penduduk lokal pinggirannya ataukah lagi-lagi untuk kepentingan masyarakat menengah ke atas yang hanya menggunakan area pinggiran untuk tempat bermukimnya?

Tidak akan ada manusia yang dapat bersifat adil. Kembali pada pertanyaan, ketika seorang manusia diberika kekuasaan yang absolut atas sesuatu, mampukah ia mengontrol dirinya untuk tidak tergoda melakukan hal-hal diluar rencana untuk mendatangkan keuntungan yang lebih besar?

Bandung, 2016
Dari yang mencintai Kota Bandung dengan segala permasalahannya.
#30DWCHari14