Latar Belakang Terbentuknya Teori
Secara harfiah, manusia akan terus mencari dan membentuk tempat yang ideal untuk terus memperbaiki kualitas hidupnya. Persepsi tentang ideal bagi setiap pola pikir individu tentu berbeda. Kebutuhan manusia pun mempengaruhi tempat tinggal seperti apa yang baik dan dapat memenuhi kebutuhan untuk melangsungkan hidupnya. Sejarah terbentuknya kota di dunia sangat berpengaruh pada tingkah laku dan norma-norma yang berlaku pada masyarakat pada masa itu. Dalam perkembangan kota, terdapat tiga teori normatif yang memiliki ciri khas di masing-masing awal pembentukannya. Terdapat tiga teori normatif yang dijabarkan pada buku “Good City Form” karya Kevin Lynch (1981).
Teori Kosmik (Cosmic Theory) muncul dengan latar belakang hubungan spiritual manusia dengan Tuhan. Masyarakat pada saat itu memiliki budaya pemujaan terhadap apa yang dianggap mereka sakral. Sebuah kota digambarkan sebagai tempat ritual keagamaan dan pemujaan. The City as Supernatural sangat memperhatikan nilai-nilai sakral yang membentuk jalur peradaban manusia dengan sendirinya. Kota juga digambarkan sebagai model dari alam semesta. Bentuk-bentuk yang tersusun pada akhirnya membentuk satu kesatuan yang dianggap sempurna. Dalam penyusunan tata letak ruang kota model kosmik, terdapat banyak aspek yang diperhatikan seperti fenomena alam. Pandangan-pandangan ini pada akhirnya digunakan untuk menentukan tempat-tempat yang strategis serta membawa keberuntungan dalam hidup dan membangun batasan-batasan yang jelas.
Teori normatif kedua yang muncul adalah The City as Machine, kota sebagai sebuah mesin. Teori ini muncul ketika peradaban manusia mulai mengenal teknologi dan keberagaman dalam upaya pembangunan. Kota dipandang sebagai seperti mesin yang mampu memenuhi kebutuhan industrialisasi. Kota model ini dibangun dengan cepat dan peraturan yang sederhana. Tak jarang muncul bentuk-bentuk yang begitu kontras dari lingkungan sekitarnya sehingga kurang memperhatikan aspek lingkungannya, karena efisiensi pendistribusian bararng dianggap yang utama. Aspek alam kurang diperhatikan pada model kota mesin bahkan dianggap sebagai penghalang atau bencana dalam proses pembangunannya.
Model kota yang ketiga terbentuk dari analogi kota sebagai sebuah organik, berkembang seperti makhluk hidup. The city as organism melihat sebuah kota sebagai jaringan yang tumbuh di mana setiap elemennya memiliki fungsi masing-masing dan menopang satu sama lain. Kota sebagai makhluk hidup sangat bergantung satu sama lain, karena bila ada fungsi yang mati maka fungsi yang lain akan mati juga. Alam pun memegang struktur yang cukup besar dalam pembentukan kota model organik dengan menjadi sense of place di tiap bagian kota. Model kota ini berkembang dan diterapkan di banyak tempat di dunia hingga saat ini.
Kesamaan Bentuk Kota
Kota kosmik memiliki struktur kota yang berlapis-lapis. Hirarki yang dimiliki kota model kosmik terbentuk karena proses-proses ritual yang dilakukan oleh masyarakat. Tempat ritual akan berada di tengah, posisi yang dianggap strategis dan menjadi pusat dari peradaban saat itu. Sirkulasi yang terbentuk pada kota model ini menuju ke arah tempat pemujaan kepada Tuhan.

City as a machine memiliki pola ruang yang grid atau terkotak-kotak. Model kota ini memiliki sumbu berupa jalan yang lebar dan besar. Pertumbuhan kota akan mengikuti jalan tersebut. Proses ekonomi dan pendistribusian yang efisien menjadi awal terbentuknya jalan sebagai sumbu pada saat itu. Pendistribusian ini mengarah dari sumber daya alam menuju tempat di mana masyarakat yang berkuasa akan menggunakannya.
Penerapan grid pada rencana kota Philadelphia dan Terapan kota organic pada Greenbelt, Maryland
Pola yang terbentuk pada kota organik membentuk keseimbangan Ciri organisasi ruang yang terbentuk dalam kota organik ialah membentuk kesatuan yang terdiri dari unit-unit yang fungsional. Dilihat dari susunannya, ketiga kota ini memiliki kesamaan bentuk pada sistem grid pada blok bangunan yang mengikuti konteks setting jalan yang menjadi sirkulasi sebuah kota. Model kota organik lebih tidak kaku dari dua model kota lainnya karena pertumbuhannya lebih fleksibel, namun unsur keteraturan tetap terasa dalam model kota organik. Dianalogikan seperti jaringan makhluk hidup, kota model organik juga memiliki jantung yang dianggap sebagai pusat dari segala aktifitas.
Kesamaan bentuk yang dimiliki oleh ketiga model kota ini digambarkan dengan adanya satu titik (core) yang menjadi pusat segala aktifitas. Pusat ini menjadi titik tumbuh kembang perkotaan yang pada akhirnya terbentuk karena adanya suatu hubungan antara yang berkuasa dengan pendukungnya. Kekuasaan dan kekuatan adalah unsur pembentuk kota yang yang tidak bisa dihindarkan. Bentuk-bentuk kota mengarah ke pusat kekuasaan namun jaringan pembentuk kota berupa sirkulasinya berubah seiring dengan pola pikir, budaya, dan kebutuhan manusia pada saat itu.
Perancangan Kota yang Baik
Kota yang baik tentu dirancang sesuai dengan kebutuhan manusia. Urgensi peradaban manusia membuat kota memiliki sejarah dan warnanya. Masing-masing teori memiliki kelemahan dan kelebihan tersendiri. Kota dalam cosmic theory memiliki nilai lebih pada keberadaan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Nilai yang terkandung pada kegiatan-kegiatan ritual tersebut dapat menimbulkan sense of place tersendiri bagi kota tersebut. luar.
Kota sebagai mesin dipandang dari sudut pandang ekonomi tentu sangat menguntungkan. Model kota ini dapat memberikan pergerakan ekonomi yang cepat dan optimal. Distribusi dari produsen ke konsumen pun dapat berjalan dengan baik.
Model kota bawaan dari kolonial ini mengutamakan jalan-jalan yang besar dan lurus karena mempertimbangkan aspek ekonomi. Sirkulasi merupakan sumbu utama dari pertumbuhan kota model ini. Namun, seperti yang kita lihat, pada saat ini sumbu-sumbu tersebut bisa menjadi landmark/ikon tersendiri bagi kota tersebut. Jalan Braga di Bandung merupakan contoh nyata bagaimana jalan yang awalnya diperuntukkan bagi distribusi biji kopi pada zamannya, pada saat ini menjadi tempat yang sangat berpengaruh keberadaannya di Kota Bandung
Kota yang tumbuh dengan model organik memiliki keseimbangan dalam hal integrasi manusia dan alamnya. Lebih fleksibel dan tidak sekaku dua model kota sebelumnya. Alam tidak lagi dipandang sebagai sebuah simbol yang sakral atau pun penghalang dalam proses pembangunan dan pembentukan sebuah kota. Aspek alam merupakan aspek yang seharusnya tidak ditinggalkan karena pada hakikatnya kita akan selalu hidup berdampingan dengan alam.
Disimpulkan bahwa perancangan kota yang baik adalah kota yang tetap menghargai dan menjaga nilai-nilai budaya yang ada. Kegiatan ekonomi merupakan pertimbangan penting dalam membangun sebuah kota, karena dengan ekonomi pula kota akan tumbuh dan berproses. Konsep ekologi merupakan konsep yang baru muncul setelah manusia sadar bahwa kita tidak mungkin hidup berpisah dengan alam. Lebih bijak ketika memilih berjalan beriringan dengan alam daripada mengesampingkan alam, karena alam memberi kita segala kebutuhan. Maka konsep nilai sejarah, ekonomi, dan alam merupakan satu kesatuan penting untuk membangun kota yang baik serta mampu memenuhi kebutuhan masyarakatnya.
Bentuk Kota di Indonesia
Indonesia sebagai negara berkembang memiliki sejarah pertumbuhan kota yang dimulai dari masa penjajahan hingga masa sekarang. Warna tiap kota yang dihasilkan pun berbeda-beda. Keberagaman budaya Indonesia sebenarnya bisa menjadi ciri khas untuk membentuk wajah perkotaan Indonesia. Terdapat kota yang kental unsur spiritualnya, dipengaruhi oleh penjajahan pada masa kolonial, begitu pula yang tumbuh mengikuti pusat perdagangan dan jasa.
Kota-kota di Bali dapat menjadi contoh dari kota spiritual yang dicintai banyak masyarakat dari dalam maupun luar negeri. Konsep dasar pada Arsitektur Tradisional Bali pun sangat kental dengan kosmologi seperti konsep Tri Hita Karana, orientasi Nawa Sanga atau Sanga Mandala, keseimbangan kosmologi Manik Ring Cucupu, Asta Kosala Kosali, serta Asta Mandala. Konsep-konsep perancangan tersebut terbentuk oleh budaya spiritual dan keyakinan orang bali terhadap hubungan yang harmonis antara manusia dengan dewanya. Bentuk dan tatanan yang mengikuti konsep ini diyakini akan mendatangkan kebahagiaan bagi terminologi masyarakat bali.
Peran pemerintah dalam menjaga budaya yang masih kental di Bali hingga saat ini pun cukup besar. Perda untuk pembangunan di Bali disusun mengikuti norma-norma yang berlaku di Bali seperti tinggi bangunan tertinggi tidak boleh melebihi tinggi pohon kelapa (15 meter). Upaya pelestarian seperti ini dapat dilakukan guna menjaga nilai yang telah terkandung pada sejarah kota tersebut dan tidak terkikis oleh zaman. Dalam upaya konservasi keindahan lanskap kota, pengambilan keputusan seperti ini perlu dilakukan.

Kota Paris pun menerapkan pembatasan tinggi bangunan hingga 25 meter dengan tujuan menjaga skyline kota Paris dan Menara Eiffel selalu menjadi primadona berkat kiat pemerintah tersebut. Semangat menjaga konservasi lansekap untuk kota ini kurang lebih sama dengan keinginan masyarakat Bali yang menginginkan budaya Bali tidak hilang. Hal yang berbeda dari kasus Bali dan Paris adalah ketinggian bangunan di Bali dibatasi untuk menghormati pura-pura sebagai tempat sakral dan dihormati yang berada di kota-kota Bali.
Pada kota-kota kosmik seperti di Bali, detail menjadi bagian yang sangat menentukan. Seperti pada konsep kota kosmik, kotanya dibentuk sebagai upaya pemujaan terhadap Tuhan. Kota kosmik membentuk keharmonisan dan keindahan yang tertangkap baik secara visual mau pun harmoni. Sense of place pada kota di Bali begitu khas. Kota Denpasar sebagai kota yang padat di Bali pun tetap terasa berbeda karena adanya hawa dan pembawaan spiritual pada setiap detail yang diberikan di wajah-wajah pembentuk jalannya.
Reference
Lynch, Kevin. (1981): Good City Form. MIT Press, New York.